1
Disiplin Ilmu Kewirausahaan
Ilmu kewirausahaan adalah suatu disiplin
ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (ability) dan perilaku seseorang
dalam menghadapi untuk memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin
dihadapinya. Dalam konteks bisnis, menurut Thomas W. Zimmerer (1996) “Entrepreneurship is the result of a
disciplined,systematic process of applying creativity and innovations to needs and
opportunitiesin the marketplace”. Kewirausahaan adalah hasil dari suatu
disiplin, proses sistematis penerapan kreativitas dan inovasi dalam memenuhi
kebutuhan dan peluang di pasar.
Dahulu, kewirausahaan diangap hanya
dapat dilakukan melalui pengalaman langsung di lapangan dan merupakan bakat
yang dibawa sejak lahir (entrepreneurship are bom notmade), sehingga
kewirausahaan tidak dapat dipelajari dan diajarkan. Sekarang, kewirausahaan
bukan hanya urusan lapangan, tetapi merupakan disiplin ilmu yang dapat dipelajari
dan diajarkan. "Entrepreneurship are
not only born but also made”, artinya kewirausahaan tidak hanya bakat
bawaan sejak lahir atau urusan pengalaman lapangan, tetapi juga dapat
dipelajari dan diajarkan. Seseorang yang memiliki bakat kewirausahaan dapat
mengembangkan bakatnya melalui pendidikan. Memang menjadi entrepreneur adalah orang-orang yang mengenal potensi (traits) dan
belajar mengembangkan potensi untuk menangkap peluang serta mengorganisir usaha
dalam mewujudkan cita-citanya. Oleh karena itu, untuk menjadi wirausaha yang
sukses, memiliki bakat saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki pengetahuan
mengenal segala aspek usaha yang akan ditekuninya.
Dilihat dari perkembangannya, sejak awal
abad ke-20 kewirausahaan sudah diperkenalkan di beberapa negara. Misalnya di
Belanda dikenal dengan "ondernemer",
di Jerman dikenal dengan "unternehmer".
Di beberapa negara, kewirausahaan memiliki banyak tanggung jawab antara lain
tanggung jawab dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepemimpman teknis,
kepemimpinan organisasi dan komersial, penyediaan modal, penerimaan dan
penanganan tenaga kerja, pembelian, penjualan, pemasangan iklan, dan lain-lain.
Kemudian, pada tahun 1950-an pendidikan kewirausahaan mulai dirintis di
beberapa negara seperti di Eropa, Amerika, dan Canada. Bahkan sejak tahun
1970-an banyak universitas yang mengajarkan "entrepreneurship"
atau "small business
management" atau "new
venture management". Pada tahun 1980-an, hampir 500 sekolah di Amerika
Serikat memberikan pendidikan kewirausahaan. Di Indonesia, pendidikan
kewirausahaan masih terbatas pada beberapa sekolah atau perguruan tinggi
tertentu saja.
Sejalan dengan tuntutan perubahan yang
cepat pada paradigma pertumbuhan yang wajar (growth-equity
paradigm shift) dan perubahan ke arah globalisasi (globalization paradigm shift) yang menuntut adanya keunggulan,
pemerataan, dan persaingan, maka dewasa sedang terjadi perubahan paradigma
pendidikan (paradigm shift). Menurut
Soeharto Prawirokusumo (1997: 4) pendidikan kewirausahaan telah diajarkan
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen (independent academic dicipline), karena:
(1)
Kewirausahaan
berisi body of knowledge yang utuh
dan nyata (distinctive), yaitu ads
teori, konsep, dan metode ilmiah yang lengkap.
(2)
Kewirausahaan
memiliki dua konsep, yaitu posisi venture start-up dan venture-growth, ini
jelas tidak masuk dalam kerangka pendidikan manajemen umum (frame work general management courses) yang memisahkan antara
manajemen dan kepemilikan usaha (business
ownership).
(3)
Kewirausahaan
merupakan disiplin ilmu yang memiliki objek tersendiri, yaitu kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability
to create new and different things).
(4)
Kewirausahaan
merupakan slat untuk menciptakan pemerataan berusaha dan pemerataan pendapatan (wealth creation process an entrepreneurial
endeavor by its own night, nation's prosperity, individual self-reliance)
atau kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Seperti halnya ilmu manajemen yang
awalnya berkembang di bidang industri, kemudian berkembang dan diterapkan di
berbagai bidang lainnya, maka disiplin ilmu kewirausahaan dalam perkembangannya
mengalami evolusi yang pesat. Pada mulanya kewirausahaan berkembang dalam
bidang perdagangan, namun kemudian diterapkan di berbagai bidang lain seperti industri,
perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan institusi-institusi lain seperti
lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya lainnya. Dalam
bidang-bidang tertentu, kewirausahaan telah dijadikan kompetensi inti (core competency) dalam menciptakan
perubahan, pembaharuan, dan kemajuan. Kewirausahaan tidak hanya dapat digunakan
sebagai kiat-kiat bisnis jangka pendek tetapi juga sebagai kiat kehidupan
secara umum dalam jangka panjang untuk menciptakan peluang. Di bidang bisnis
misalnya, perusahaan sukses dan memperoleh peluang besar karena memiliki kreativitas
dan inovasi. Melalui proses kreatif dan inovatif, wirausaha menciptakan nilai
tambah atas barang dan jasa. Nilai tambah barang dan jasa yang diciptakan
melalui proses kreatif dan inovatif banyak menciptakan berbagai keunggulan
termasuk keunggulan pesaing. Perusahaan seperti Microsoft, Sony, dan Toyota
Motor, merupakan contoh perusahaan yang sukses dalam produknya, karena memiliki
kreativitas dan inovasi di bidang teknologi. Demikian juga di bidang
pendidikan, kesehatan dan pemerintahan, kemajuan-kemajuan tertentu dapat
diciptakan oleh orang-orang yang memiliki semangat, jiwa kreatif dan inovatif.
David Osborne & Ted Gaebler (1992) dalam bukunya "Reinventing Goverment" mengemukakan bahwa dalam
perkembangan dunia dewasa ini dituntut pemerintah yang beliwa kewirausahaan (entrepreneurial government). Dengan
memiliki kewirausahaan, maka birokrasi dan institusi akan memiliki motivasi,
optimisme, dan berlomba untuk menciptakan cara-cara baru yang lebih efisien,
efektif, inovatif, fleksibel, dan adaptif.
2
Objek Studi Kewirausahaan
Seperti telah dikemukakan di atas,
kewirausahaan mempelajari tentang nilai, kemarnpuan, dan perilaku seseorang
dalam berkreasi dan berinovasi. Oleh sebab itu, objek studi kewirausahaan
adalah nilai-nilai dan kemampuan (ability) seseorang yang mewujudkan dalam
bentuk perilaku. Menurut Soeparman Soemahamidjaja (1997: 14-15), kemampuan
seseorang yang menjadi objek kewirausahaan meliputi:
(1)
Kemampuan
merumuskan tujuan hidup/usaha. Dalam merumuskan tujuan hidup/usaha tersebut
perlu perenungan, koreksi, yang kemudian berulang-ulang dibaca dan diamati
sampai memahami apa yang menjadi kemauannya.
(2)
Kemampuan
memotivasi diri untuk melahirkan suatu tekad kemauan yang menyala-nyala.
(3)
Kemampuan
untuk berinisiatif, yaitu mengerjakan sesuatu yang baik tanpa menunggu perintah
orang lain, yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan
berinisiatif.
(4)
Kemampuan
berinovasi, yang melahirkan kreativitas (daya cipta) setelah dibiasakan berulang-ulang
akan melahirkan motivasi. Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri untuk
selalu mencari berbagai kemungkinan baru atau kombinasi baru apa saja yang
dapat dijadikan peranti dalam menyajikan barang dan jasa bagi kemakmuran
masyarakat.
(5)
Kemampuan
untuk membentuk modal uang atau barang modal (capital goods).
(6)
Kemampuan
untuk mengatur waktu dan membiasakan diri untuk selalu tepat waktu dalam segala
tindakan melalui kebiasaan yang selalu tidak menunda pekerjaan.
(7)
Kemampuan
mental yang dilandasi dengan agama.
(8)
Kemampuan
untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dari pengalaman yang baik maupun
menyakitkan.
3
Hakikat Kewirausahaan
Meskipun sampai sekarang ini belum ada
terminologi yang persis sama tentang kewirausahaan (entrepreneurship), akan tetapi
pada umumnya memiliki hakikat yang hampir sama yaitu merujuk pada sifat, watak
dan ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang mempunyai kemauan keras untuk
mewujudkan gagasan inovatif ke dalam. dunia usaha yang nyata dan dapat
mengembangkannya dengan tangguh (Peter F. Drucker, 1994). Menurut Drucker,
kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda (ability to create the new and
different thing). Bahkan, entrepreneurship secara sederhana sering juga
diartikan sebagai prinsip atau kemampuan wirausaha (Ibnu Soedjono, 1993;
Meredith, 1996; Marzuki Usman, 1997). Istilah kewirausahaan bermula dari
terjemahan entrepreneurship, yang dapat diartikan sebagai "the backbone of
economy", yaitu syaraf pusat perekonomian atau sebagai "tail bone of economy", yaitu
pengendali perekonomian suatu bangsa (Soeharto Wirakusumo, 1997: 1). Secara
epistimologi, kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai suatu
usaha (start-up phase) atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru
(creative) dan sesuatu yang berbeda (innovative). Menurut Thomas W Zimmerer
(1996: 51), kewirausahaan adalah "applying
creativity and innovation to solve the problems and to exploit opportunities
that people face everyday". Kewirausahaan adalah penerapan kreativitas
dan inovasi untuk memecahkan masalah dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang
dihadapi setiap hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas,
inovasi, dan keberanian menghadapi risiko yang dilakukan dengan cara kerja
keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Kreativitas, oleh Zimmerer
(1996: 51) diartikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan
untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dan menghadapi
peluang (creativity is the ability to develop
new ideas and to discover new ways of looking at problems and opportunities). Sedangkan,
inovasi diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka
memecahkan persoalan-persoalan dan peluang untuk berfikir meningkatkan dan
memperkaya kehidupan (innovation is the
ability to apply creative soluvasitions to those problems and opportunities to
enhance or to enrich people's live). Menurut Harvard's Theodore Levitt yang
dikutip Zimmerer (1996: 51), kreativitas adalah thinking new things (berpikir
sesuatu yang baru), sedangkan inovasi adalah doing new things (melakukan
sesuatu yang baru). Keberhasilan wirausaha akan tercapai apabila berpikir dan
melakukan sesuatu yang baru atau sesuatu yang lama yang dilakukan dengan cara
yang baru (thinking and doing new things or old thing in new ways. Menurut
Zimmerer (1996: 51), ide kreatif akan muncul apabila wirausaha melihat sesuatu
yang lama dan memikirkan sesuatu yang baru atau berbeda (look at something old and think something new or different).
Dari pandangan para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa kewirausahaan (entrepreneurship) adalah suatu kemampuan
(ability) dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar,
sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat, proses dalam menghadapi tantangan hidup.
Istilah entrepreneurship, sebenarnya berasal dari kata entrepreneur.
Menurut Soeparman Soemahamidjaja (1977:2), istilah ini pertama kali digunakan
oleh Cantilon dalam Essai sur la nature
du commerce (1755), yaitu sebutan bagi para pedagang yang membeli barang di
daerah-daerah dan kemudian menjualnya dengan harga yang tidak pasti.
Dalam konteks manajemen, pengertian
entrepreneur adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan sumber
daya seperti finansial (money), bahan
mentah (materials), dan tenaga kerja (labor), untuk menghasilkan suatu produk
baru, bisnis baru, proses produksi, atau pengembangan organisasi usaha (Marzuki
Usman, 1997:3). Entrepreneur adalah
seseorang yang memiliki kombinasi unsur-unsur (elemen-elemen) internal yang
meliputi kombinasi motivasi, visi, komunikasi, optimisme, dorongan semangat,
dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang usaha. Menurut Sri Edi Swasono (1978:
38), dalam konteks bisnis, wirausaha adalah pengusaha, tetapi tidak semua
pengusaha adalah wirausaha. Wirausaha adalah pelopor dalam bisnis, inovator,
penanggung risiko, yang mempunyai visi ke depan, dan memiliki keunggulan dalam
berprestasi di bidang usaha.
Norman M. Scarborough dan Thomas W.
Zimmerer (1993:5) mengemukakan definisi wirausaha sebagai berikut:
"An entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk
and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying
opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those
opportunities".
Menurut Dan Steinhoff dan John F.
Burgess (1993: 35) wirausaha adalah orang yang mengorganisir, mengelola, dan
berani menanggung risiko untuk menciptakan usaha baru dan peluang berusaha.
"A
person who organizes, manages, and assumes the risk of a business or entreprise
is an entrepreneur. Entrepreneur is individual who risks financial, material,
and human resources a new way to create a new business concept or opportunities
within an existing firm”.
Beberapa konsep "entrepreneur" di atas lebih menekankan pada kemampuan
dan perilaku seseorang sebagai pengusaha. Bahkan Dun Steinhoff dan John F.
Burgess (1993: 4), memandang kewirausahaan sebagai pengelola perusahaan kecil
atau pelaksana perusahaan kecil. Menurutnya, "entrepreneur" is considered to have the same meaning as
small business owner-manager" or "small busines operator".
Beberapa konsep kewirausahaan
seakan-akan identik dengan kemampuan para pengusaha dalam dunia usaha
(business). Padahal kewirausahaan tidak selalu identik dengan watak atau ciri pengusaha
semata, karena sifat ini dimiliki juga oleh bukan pengusaha. Wirausaha mencakup
semua aspek pekerjaan baik sebagai karyawan swasta maupun pemerintah (Soeparman
Soemahamidjaja, 1980). Wirausaha adalah mereka yang melakukan upaya-upaya
kreatif dan inovatif dengan mengembangkan ide,
dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation)
hidup (Prawirokusumo, 1997:5).
Rumusan entrepreneur yang berkembang sekarang ini sebenarnya banyak berasal
dari konsep Schumpeter (1934). Menurut Schumpeter, entrepreneur merupakan
pengusaha yang melaksanakan kombinasi-kombinasi baru dalam bidang teknik dan
komersial ke dalam bentuk praktik. Inti dari fungsi pengusaha adalah pengenalan
dan pelaksanaan kemungkinan-kemungkinan baru dalam bidang perekonomian.
Kemungkinan-kemungkinan baru yang dimaksudkan oleh Schumpeter adalah: Pertama,
memperkenalkan produk baru atau kualitas baru suatu barang yang belum dikenal
oleh konsumen. Kedua, melakukan suatu metode produksi baru, dari suatu penemuan
ilmiah baru dan cara-cara baru untuk menangani suatu produk agar menjadi lebih
mendatangkan keuntungan. Ketiga, membuka suatu pemasar baru yaitu pasar yang
belum pernah ada atau belum pernah dimasuki cabang industri yang bersangkutan.
Keempat, pembukaan suatu sumber dasar baru, atau setengah jadi atau
sumber-sumber yang masih harus dikembangkan. Kelima, pelaksanaan organisasi
baru (Yuyun Wirasasmita, 1982: 33-34).
Menurut Schumpeter (1934), fungsi
pengusaha bukan pencipta atau penemu kombinasi-kombinasi baru (kecuali kalau
kebetulan), tetapi lebih merupakan pelaksana dari kombinasi-kombinasi yang
kreatif. pengusaha tersebut biasanya memiliki sikap yang khusus seperti sikap
pedagang, pemilik industri, dan bentuk-bentuk usaha lainnya yang sejenis. Schumpeter
mengemukakan dua tipe sikap dari dua subjek ekonomi, yaitu sikap pengusaha
kecil biasa dan sikap pengusaha benar-benar. Sikap pengusaha yang
benar-benarlah yang kemudian berkembang lebih cepat.
Kewirausahaan (entrepreneurship) muncul apabila seseorang berani mengembangkan
usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua fungsi,
aktivitas, dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan
penciptaan organisasi usaha. Oleh sebab itu, wirausaha adalah orang yang
memperoleh peluang dan menciptakan suatu organisasi untuk mengejar peluang
itu" (Bygrave, 1995).
Menurut Meredith (1996: 9), berwirausaha
berarti memadukan watak pribadi, keuangan, dan sumber daya. Oleh karna itu,
berwirausaha merupakan suatu pekerjaan atau karier yang harus bersifat
fleksibel dan imajinatif, mampu merencanakan, mengambil risiko, mengambil
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan (Meredith,1996:
9). Syarat berwirausaha harus memiliki kemampuan untuk menemukan dan
mengevaluasi peluang, mengumpulkan sumber-sumber daya yang diperlukan dan
bertindak untuk memperoleh keuntungan dari peluang-peluang itu. Esensi dari
kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses kombinasi
antara sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing.
Menurut Zimmerer (1996: 51), nilaf tambah tersebut diciptakan melalui cara-cara
sebagai berikut:
(1)
Pengembangan
teknologi baru (developing new
technology)
(2)
penemuan
pengetahuan baru (discovering new
knowledge)
(3)
Perbaikan
produk dan jasa yang sudah ada (improving
existing products or services)
(4)
penemuan
cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak
dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding
different ways of providing more goods and services with fewer resources).
Meskipun di antara para ahli ada yang
lebih menekankan kewirausahaan pada peran pengusaha kecil, akan tetapi sifat
ini dimiliki juga oleh bukan pengusaha. Jiwa kewirausahaan ada pada setiap
orang yang memiliki perilaku inovatif dan kreatif dan pada setiap orang yang
menyukai perubahan, pembaharuan, kemajuan, dan tantangan. Misalnya birokrat,
mahasiswa, dosen, dan masyarakat lainnya.
Dari beberapa konsep yang dikemukakan di
atas, ada enam hakikat penting kewirausahaan, yaitu:
(1)
Kewirausahaan
adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber
daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis (Ahmad
Sanusi, 1994).
(2)
Kewirausahaan
adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different)
( Drucker, 1959).
(3)
Kewirausahaan
adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan
persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha) (Zimmerer,
1996).
(4)
Kewirausahaan
adalah suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan usaha (venture growth) (Soeharto Prawiro,
1997).
(5)
Kewirausahaan
adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (creative), dan sesuatu yang berbeda (innovative) yang bermanfaat memberikan nilai lebih.
(6)
Kewirausahaan
adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengombinasikan
sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan.
Nilai tambah tersebut dapat diciptakan dengan cara mengembangkan teknologi
baru, menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk menghasilkan barang
dan jasa baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada,
dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.
Berdasarkan keenam konsep di atas,
secara ringkas kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan
kreatif dan inovatif (create new and
different) yang dijadikan kiat, dasar, sumber daya, proses, dan perjuangan
untuk menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian
untuk menghadapi risiko.
4
Karakteristik Dan Nilai-Nilai Hakiki Kewirausahaan
4.1 Karakteristik Kewirausahaan
Banyak ahli yang mengemukakan
karakteristik kewirausahaan dengan konsep yang berbeda-beda. Geoffrey G.
Meredith (1996: 5-6) misalnya mengemukakan ciri-ciri dan watak kewirausahaan.
Ahli lain, seperti M. Scarborough dan
Thomas W. Zimmerer (1993: 6-7) mengemukakan delapan karakteristik, yang
meliputi:
(1)
Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab
atas usaha-usaha yang dilakukannya. Seseorang yang memilki rasa tanggung jawab
akan selalu mawas diri.
(2)
Preference for moderate risk, yaitu lebih memilih risiko yang
moderat, artinya ia selalu menghindari risiko, baik yang terlalu rendah maupun
risiko yang terlalu tinggi.
(3)
Confidence in their ability to
success, yaitu percaya
akan kemampuan dirinya untuk berhasil.
(4)
Desire for immediate feedback, yaitu selalu menghendaki umpan balik
yang segera.
(5)
High level of energy, yaitu memiliki semangat dan kerja
keras untuk mewujudkan keinginannya demi masa depan yang lebih baik.
(6)
Future orientation, yaitu berorientasi ke masa depan,
perspektif, dan berwawasan jauh ke depan.
(7)
Skill at organizing, yaitu memiliki keterampilan dalam
mengorganisasikan sumber daya untuk menciptakan nilai tambah.
(8)
Value of achievement over money, yaitu lebih menghargai prestasi
daripada uang.
Selanjutnya, Arthur Kuriloff dan John.
M. Mempil (1993: 20), mengemukakan karakteristik kewirausahaan dalam bentuk
nilai-nilai dan perilaku kewirausahaan.
Wirausaha selalu berkomitmen dalam melakukan
tugasnya sampai berhasil. Ia tidak setengah-setengah dalam melakukan
pekerjaannya. Karna itu, ia selalu tekun, ulet, pantang menyerah sebelum
pekerjaannya berhasil. tindakannya tidak didasari oleh spekulasi melainkan perhitungan
yang matang. la berani mengambil risiko terhadap pekerjaannya karena sudah
diperhitungkan. Oleh sebab itu, wirausaha selalu berani mengambil risiko yang
moderat, artinya risiko yang diambil tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu
rendah. Keberanian menghadapi risiko yang didukung oleh komitmen yang kuat,
mendorong wirausaha untuk terus berjuang mencari peluang sampai memperoleh hasil.
Hasil-hasil itu harus nyata/jelas dan objektif, dan merupakan umpan balik (feedback)
bagi kelancaran kegiatannya. Dengan semangat optimisme yang tinggi karena ada hasil
yang diperoleh, maka uang selalu dikelola secara proaktif dan dipandang sebagai
sumber daya bukan tujuan akhir.
Beberapa ciri kewirausahaan yang
dikemukakan oleh para ahli seperti di atas, secara ringkas dikemukakan oleh
Vernon A Musselman (1989: 155), Wasty Sumanto (1989), dan Geoffey Meredith
(1989: 5) dalam bentuk ciri-ciri berikut:
(1)
Keinginan
yang kuat untuk berdiri sendiri.
(2)
Kemauan
untuk mengambil risiko.
(3)
Kemampuan
untuk belajar dari pengalaman.
(4)
Memotivasi
diri sendiri.
(5)
Semangat
untuk bersaing.
(6)
Orientasi
pada kerja keras.
(7)
Percaya
pada diri sendiri.
(8)
Dorongan
untuk berprestasi.
(9)
Tingkat
energi yang tinggi.
(10)
Tegas.
(11)
Yakin
pada kemampuan sendiri.
Wasty Sumanto (1989: 5) menambah
ciri-ciri yang ke-12 dan ke-13 sebagai berikut:
(12)
Tidak
suka uluran tangan dari pemerintah/pihak lain di masyarakat.
(13)
Tidak
bergantung pada alam dan berusaha untuk tidak menyerah pada alam.
Geoffrey Meredith (1989: 5) menambahkan
ciri yang ke-14 sampai dengan ke-16, yaitu:
(14)
Kepemimpinan.
(15)
Keorisinilan.
(16)
Berorientasi
ke masa depan dan penuh gagasan.
Dalam mencapai keberhasilannya, seorang
wirausaha memiliki ciri-ciri tertentu pula. Dalam "Entrepreneurship and Small Enterprise Development Report"
(1986) yang dikutip langsung oleh M. Scarborough dan Thomas W. Zimmerer (1993:
5) dikemukakan beberapa karakteristik kewirausahaan yang berhasil, di antaranya
memiliki ciri-ciri:
(1)
Proaktif,
yaitu berinisiatif dan tegas (assertive).
(2)
Berorientasi
pada prestasi, yang tercermin dalam pandangan dan bertindak (sees and acts) terhadap peluang,
orientasi efisiensi, mengutamakan kualitas pekerjaan, berencana, dan
mengutamakan monitoring.
(3)
Komitmen
kepada orang lain, misalnya dalam mengadakan kontrak dan hubungan bisnis.
Secara eksplisit, Dan Steinhoff dan John
F Burgess (1993: 38) mengemukakan beberapa karakteristik yang diperlukan untuk
menjadi wirausaha yang berhasil, meliputi:
(1)
Memiliki
visi dan tujuan usaha yang jelas.
(2)
Bersedia
menanggung risiko waktu dan uang.
(3)
Berencana,
mengorganisir.
(4)
Kerja
keras sesuai dengan tingkat kepentingannya.
(5)
Mengembangkan
hubungan dengan pelanggan, pemasok, pekerja, dan yang lainnya.
(6)
Bertanggung
jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan.
Keberhasilan atau kegagalan wirausaha
sangat dipengaruhi juga oleh sifat dan kepribadian seseorang. The Officer of Advocacy of Small Business
Administration (1989) yang dikutip oleh Dan Steinhoff dan John F Burgess
(1993: 37) mengemukakan bahwa kewirausahaan yang berhasil pada umumnya memiliki
sifat-sifat kepribadian (entrepreneurial
personality) sebagai berikut:
(1) They
have the self-confidence to work hard independently and understand that the
risk taking is part of the equation for success
(2) They
have organization ability, can set goals, are results-oriented, and take
responsibility for the results of their endeavors—good or bad.
(3) They
are creative and seek an outlet for their creativity in an entrepreneurship.
(4) They
enjoy challenges and find personal fulfilment in seeing their ideas through to
completion.
Dengan menggabungkan pandangan Timmons
dan McDelland (1961),,Thomas F. Zimmerer (1996: 6-8) memperluas karakteristik
sikap dan perilaku kewirausahaan yang berhasil sebagai berikut:
(1)
Commitment and determination, yaitu memiliki komitmen dan tekad yang
bulat untuk mencurahkan semua perhatiannya pada usaha. Sikap yang setengah hati
mengakibatkan besarnya kemungkinan untuk gagal dalam berwirausaha.
(2)
Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab
baik dalam mengendalikan sumber daya yang digunakan maupun tanggung jawab
terhadap keberhasilan berwirausaha. Oleh karena itu, akan mawas diri secara
internal.
(3)
Opportunity obsession, yaitu selalu berambisi untuk selalu
mencari peluang. Keberhasilan wirausaha selalu diukur dengan keberhasilan untuk
mencapai tujuan. Pencapaian tujuan terjadi apabila ada peluang.
(4)
Tolerance for risk, ambiguity, and
uncertainty,
yaitu tahan terhadap risiko dan ketidakpastian. Wirausaha harus belajar untuk
mengelola risiko dengan cara mentransfer risiko ke pihak lain seperti bank,
investor, konsumen, pemasok, dan lain-lain. Wirausaha yang berhasil biasanya
memiliki toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan ketidakpastian.
(5)
Self confidence, yaitu percaya diri. Ia cenderung
optimis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya
untuk berhasil.
(6)
Creativity and flexibility, yaitu berdaya cipta dan dan luwes.
Salah satu kunci penting adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan
permintaan. Kekakuan dalam menghadapi perubahan ekonomi dunia yang serba cepat
sering kali membawa kegagalan. Kemampuan untuk menanggapi perubahan yang cepat
dan fleksibel tentu saja memerlukan kreativitas yang tinggi.
(7)
Desire for immediate feedback, yaitu selalu memerlukan umpan balik
yang segera. Ia selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang dikerjakannya. Oleh
karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, ia selalu memiliki kemauan untuk
menggunakan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dan selalu belajar dari
kegagalan.
(8)
High level of energy, yaitu memiliki tingkat energi yang
tinggi. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki daya juang yang lebih tinggi
dibanding rata-rata orang lainnya, sehingga ia lebih suka kerja keras walaupun
dalam waktu yang relatif lama.
(9)
Motivation to excel, yaitu memiliki dorongan untuk selalu
unggul. Ia selalu ingin lebih unggul, lebih berhasil dalam mengerjakan apa yang
dilakukannya dengan melebihi standar yang ada. Motivasi ini muncul dari dalam
diri (internal) dan jarang dari eksternal.
(10) Orientation
to the future,
yaitu berorientasi pada masa yang akan datang. Untuk tumbuh dan berkembang, ia
selalu berpadangan jauh ke masa depan yang lebih baik.
(11) Willingness
to learn from failure,
yaitu selalu belajar dari kegagalan. Wirausaha yang berhasil tidak pernah takut
gagal. Ia selalu memfokuskan kemampuannya pada keberhasilan.
(12)
Leadership ability, yaitu kemampuan dalam kepemimpinan.
Wirausaha yang berhasil memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa
kekuatan (power), ia harus lebih memiliki taktik mediator dan negotiator
daripada diktator.
Menurut Ahmad Sanusi (1994) ada beberapa
kecenderungan profil pribadi wirausaha yang dapat diangkat dari kegiatan
sehari-hari, di antaranya:
(1)
Tidak
menyenangi lagi hal-hal yang sudah terbiasa/tetap/sudah teratur/diatur dan
jelas. Ia selalu bosan dengan kegiatan rutin sehingga timbul harapan-harapan
dan keinginan untuk selalu berubah, ada tambahan, pengayaan, atau perbaikan
mutu (nilai tambah yang berbeda).
(2)
Suka
memandang ke luar, berorientasi pada aspek-aspek yang lebih luas dari soal yang
dihadapi untuk memperoleh peluang baru.
(3)
Makin
berani, karena merasa perlu untuk menunjukkan sikap kemandirian atau sikap prakarsa
atas nama sendiri.
(4)
Suka
berimajinasi dan mencoba menyatakan daya kreativitas serta memperkenalkan
hasil-hasilnya kepada pihak lain.
(5)
Karena
sendiri, maka ada keinginan berbeda atau maju, dan toleransi terhadap perbedaan
pihak lain.
(6)
Menyatakan
suatu prakarsa setelah gagasan awalnya diterima dan dikembangkan, serta dapat dipertanggungjawabkan
dari beberapa sudut. prakarsa dianggap tidak final, bahkan terbuka untuk
modifikasi dan perubahan.
(7)
Dengan
kerja keras dan kemajuan tahap demi tahap yang tercapai timbul rasa percaya
diri dan sikap optimisme yang lebih mendasar.
(8)
Sikap
dan perilaku kewirausahaan di atas, dikombinasikan dengan keterampilan
manajemen usaha dalam bentuk perencanaan dan pengembangan produk, penetrasi/pengembangan
pasar, organisasi dan komunikasi perusahaan, keuangan, dan lain-lain.
(9)
Meskipun
asasnya bekerjakeras, cermat dan sungguh-sungguh namun aspek risiko tidak bisa
dilepaskan sampai batas yang dapat diterima.
(10) Dengan risiko tersebut, dibulatkanlah
tekad, komitmen, dan kekukuhan hati terhadap alternatif yang dipilih.
(11) Berhubung yang dituju ada kemajuan yang
terus-menerus, maka ruang lingkup memandang pun jauh dan berdaya juang tinggi,
karena sukses tidak datang tanpa dasar atau tiba-tiba.
(12) Adanya perluasan pasar dan pihak lain
yang bersaing mendorong kemauan keras untuk membuat perencanaan lebih baik,
bekerja lebih baik, untuk mencapai hasil lebih baik bahkan yang terbaik dan
berbeda.
(13) Sikap hati-hati dan cermat mendorong
kesiapan bekerja sama dengan pihak lain yang sama-sama mencari kemajuan dan
keuntungan. Akan tetapi, jika perlu, is harus ada kesiapan untuk bersaing.
(14) Ujian, godaan, hambatan, dan hal-hal
yang tidak terduga dianggap tantangan untuk mencari berbagai ikhtiar.
(15) Memiliki toleransi terhadap kesalahan
operasional atau penilaian. Ada introspeksi dan kesediaan, serta sikap
responsif dan arif terhadap umpan balik, kritik, dan saran.
(16) Punya kemampuan intensif dan seimbang
dalam memperhatikan dan menyimak informasi dari pihak lain dengan meletakan
posisi dan sikap sendiri, dan mengendalikan diri sendiri terhadap sesuatu soal
yang dianggap belum jelas.
(17) Menjaga dan memajukan nilai dan perilaku
yang telah menjadi keyakinan dirinya, integritas pribadi yang mengandung citra
dan harga diri, selalu bersikap adil, adil, dan sangat menjaga kepercayaan yang
telah diberikan oleh orang lain.
Menurut Ahmad Sanusi, dalam konteks
tersebut para wirausaha tidak memiliki profil yang sama, masing-masing orang
memiliki profilnya sendiri.
2.4.2 Nilai-nilai Hakiki
Kewirausahaan
Masing-masing karakteristik
kewirausahaan tersebut di atas memiliki makna-makna dan perangai tersendiri
yang disebut nilai. Milton Rockeach (1973: 4), membedakan konsep nilai menjadi
dua, yaitu nilai sebagai "sesuatu yang dimiliki oleh seseorang "(person
has a value), dan nilai sebagai "sesuatu yang berkaitan dengan objek"
(an object has nilue). Pandangan pertama, manusia mempunyai nilai yaitu sesuatu
yang dijadikan ukuran baku bagi persepsinya terhadap dunia luar. Menurut
Sidharta Poespadibrata (1993: 91) watak seseorang merupakan sekumpulan perangai
yang tetap. Sekumpulan perangai yang tetap itu dapat dipandang sebagai suatu
sistem nilai (Rockeach, 1973). Oleh karena itu, watak dan perangai yang melekat
pada kewirausahaan dan menjadi ciri-ciri kewirausahaan dapat dipandang sebagai
sistem nilai kewirausahaan.
Nilai-nilai kewirausahaan di atas
identik dengan sistem nilai yang melekat pada sistem nilai manajer. Seperti
dikemukakan oleh Andreas A. Danandjaja (1986), Andreas Budihardjo (1991) dan
Sidharta Poespadibrata (1993), dalam sistem nilai manajer ada dua kelompok
nilai, yaitu: (1) Sistem nilai pribadi, (2) Sistem nilai kelompok atau organisasi.
Dalam sistem nilai pribadi terdapat empat jenis sistem nilai, yaitu: (1) Nilai
keprimer pragmatik, (2) Nilai primer moralistik, (3) Nilai primer afektif (4) Nilai
bauran. Dalam sistem nilai primer pragmatik terkandung beberapa unsur di
antaranya perencanaan, prestasi, produktivitas, kemampuan, kecakapan,
kreativitas, kerja sama, kesempatan. Sedangkan dalam nilai moralistik
terkandung unsur-unsur keyakinan, jaminan, martabat pribadi, kehormatan, dan
ketaatan.
Dalam kewirausahaan, sistem nilai primer
pragmatik tersebut dapat dilihat dari watak, jiwa dan perilakunya, misalnya
selalu kelp keras, tegas, mengutamakan prestasi, keberanian mengambil risiko,
produktivitas, kreativitas, inovatif, kualitas kerja, komitmen dan kemampuan
mencari peluang. Selanjutnya, nilai moralistik meliputi keyakinan atau percaya
diri, kehormatan, kepercayaan, kerja sama, kejujuran, keteladanan ,dan keutamaan.
Sujuti Jahya (1977) membagi nilai-nilai
kewirausahaan tersebut ke dalam dua dimensi nilai yang berpasangan, yaitu:
(1)
Pasangan
sistem nilai kewirausahaan yang berorientasi materi dan berorientasi
non-materi.
(2)
Nilai-nilai
yang berorientasi pada kemajuan dan nilai-nilai kebiasaan.
Ada empat nilai dengan orientasi dan
ciri masing-masing, sebagai berikut:
(1)
Wirausaha
yang berorientasi kemajuan untuk memperoleh materi, ciri-cirinya pengambil
risiko, terbuka terhadap teknologi, dan mengutamakan materi.
(2)
Wirausaha
yang berorientasi pada kemajuan tetapi bukan untuk mengejar materi. Wirausaha
ini hanya ingin mewujudkan rasa tanggung jawab, pelayanan, sikap positif, dan
kreativitas.
(3)
Wirausaha
yang berorientasi pada materi, dengan berpatokan pada kebiasaan yang sudah ada,
misalnya dalam perhitungan usaha dengan kira-kira, sering menghadap ke arah
tertentu (aliran fengshui) supaya berhasil.
(4)
Wirausaha
yang berorientasi pada non-materi, dengan bekerja berdasarkan kebiasaan,
wirausaha model ini biasanya tergantung pada pengalaman, berhitung dengan
menggunakan mistik, paham etnosentris, dan taat pada tata cara leluhur.
Penerapan masing-masing nilai sangat
tergantung pada fokus dan tujuan masing-masing wirausaha.
Dari beberapa ciri kewirausahaan di
atas, ada beberapa nilai hakiki penting dari kewirausahaan, yaitu:
1.
Percaya Diri (Self-confidence)
Kepercayaan diri merupakan suatu paduan
sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan (Soesarsono
Wijandi, 1988: 33). Dalam praktik, sikap dan kepercayaan ini merupakan sikap
dan keyakinan untuk memulai, melakukan dan menyelesaikan suatu tugas atau
pekerjaan yang dihadapi. Oleh sebab itu, kepercayaan diri memiliki nilai
keyakinan, optimisme, individualitas, dan ketidaktergantungan. Seseorang yang
memiliki kepercayaan diri cenderung memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk
mencapai keberhasilan (Zimmerer, 1996: 7).
Kepercayaan diri ini bersifat internal,
sangat relatif dan dinamis, dan banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk
memulai, melaksanakan, dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Orang yang percaya
diri memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan sistematis,
berencana, efektif, dan efisien. Kepercayaan diri juga selalu oleh ketenangan,
ketekunan, kegairahan, dan kemantapan dalam melakukan pekerjaan.
Keberanian yang tinggi dalam mengambil
risiko dan perhitungan yang matang ikuti dengan optimisme harus disesuaikan
dengan kepercayaan diri. Oleh sebab optimisme dan keberanian mengambil risiko
dalam menghadapi suatu tantangan jauhi oleh kepercayaan diri. Kepercayaan diri
juga ditentukan oleh kemandirian kemampuan sendiri. Seseorang yang memiliki
kepercayaan diri yang tinggi, relatif Mampu menghadapi dan menyelesaikan
masalah sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain.
Kepercayaan diri di atas, baik langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi mental seseorang. Gagasan, karsa, inisiatif,
kreativitas, keberanian, ketekunan, semangat kerja keras, kegairahan berkarya,
dan sebagainya banyak dipengaruhi oleh tingkat kapercayaan diri seseorang yang
berbaur dengan pengetahuan keterampilan dan kewaspadaannya (Soesarsono Wijandi,
1988:37). Kepercayaan diri merupakan landasan kekuatan untuk meningkatkan karsa
dan karya seseorang. Sebaliknya setiap karya yang menghasilkan menumbuhkan dan
meningkatkan kepercayaan diri. Kreativitas, inisiatif, kegairahan kerja dan
ketekunan akan banyak mendorong seseorang untuk mencapai yang memberikan
kepuasan batin, yang kemudian akan mempertebal kepercayaan Pada gilirannya
orang yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki kemampuan bekerja sendiri
dalam mengorganisir, mengawasi, dan meraihnya (the ability of a man to organize a business himself and could run,
control and embrace) (Soeparman ahamidjaja, 1997: 12). Kunci keberhasilan
dalam bisnis adalah untuk memahami sendiri. Oleh sebab itu, wirausaha yang
sukses adalah wirausaha yang mandiri dan daya diri (Yuyun Wirasasmita, 1994:
2).
2.
Berorientasi Tugas dan Hasil
Seseorang yang selalu mengutamakan tugas
dan hasil, adalah orang yang selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi,
berorientasi pada laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai
dorongan kuat, energik, dan berinisiatif. Berinisiatif artinya selalu ingin
mencari dan memulai. Untuk memulai diperlukan niat dan tekad yang kuat, serta
karsa yang besar. Sekali sukses atau berprestasi, maka sukses berikutnya akan
menyusul, sehingga usahanya semakin maju dan semakin berkembang. Dalam
kewirausahaan, peluang hanya diperoleh apabila ada inisiatif. Perilaku
inisiatif im biasanya diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman yang
bertahun-tahun, dan berkembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri,
berpikir kritis, tanggap, bergairah, dan semangat berprestasi.
3.
Keberanian Mengambil Risiko
Kemauan dan kemampuan untuk mengambil
risiko merupakan salah satu nilai ke utama dalam kewirausahaan. Wirausaha yang
tidak mau mengambil risiko akan sukar risi memulai atau berinisiatif. Menurut
Angelita S. Bajaro, "seorang wirausaha yang berani 1. menanggung risiko
adalah orang yang selalu ingin jadi pemenang dan memenangkan 2. dengan cara
yang baik" (Yuyun Wirasasmita, 1994: 2). Wirausaha adalah orang yang lebih
menyukai usaha-usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau kegagalan
daripada usaha yang kurang menantang. Oleh sebab itu, wirausaha kurang menyukai
risiko yang terlalu rendah atau yang terlalu tinggi. Risiko yang terlalu rendah
akan memperoleh sukses yang relatif rendah. Sebaliknya, risiko yang tinggi
kemungkinan memperoleh sukses yang tinggi, tetapi dengan kegagalan yang sangat
tinggi. Oleh sebab itu, ia akan lebih menyukai risiko yang seimbang (moderat).
Dengan demikian, keberanian untuk menanggung risiko yang menjadi nilai
kewirausahaan adalah pengambilan risiko yang penuh dengan perhitungan dan
realistis. Kepuasan yang besar diperoleh apabila berhasil dalam melaksanakan
tugas-tugasnya secara realistis. situasi risiko kecil dan situasi risiko tinggi
dihindari karena sumber kepuasan tidak mungkin didapat pada masing-masing
situasi tersebut. Artinya, wirausaha menyukai tantangan yang sukar namun dapat
dicapai (Geoffrey G Meredith, 1996: 37). Wirausaha menghindari situasi risiko
yang rendah karena tidak ada tantangan, dan menjauhi situasi risiko yang tinggi
karena ingin berhasil. Dalam situasi risiko dan ketidakpastian inilah,
wirausaha mengambil keputusan yang mengandung potensi kegagalan atau
keberhasilan. Pada situasi ini, menurut Meredith (1996:38), ada dua alternatif
atau lebih yang harus dipilih, yaitu alternatif yang mengandung risiko dan
alternatif yang konservatif. Pilihan terhadap risiko ini sangat tergantung
pada:
(a)
Daya
tarik setiap alternatif.
(b)
Kesediaan
untuk rugi.
(c)
Kemungkinan
relatif untuk sukses atau gagal.
Untuk bisa memilih, sangat ditentukan
oleh kemampuan wirausaha untuk mengambil risiko. Selanjutnya, kemampuan untuk
mengambil risiko ditentukan oleh:
(a)
Keyakinan
pada diri sendiri.
(b)
Kesediaan
untuk menggunakan kemampuan dalam mencari peluang dan kemungkinan untuk
memperoleh keuntungan.
(c)
Kemampuan
untuk menilai situasi risiko secara realistis.
Di atas dikemukakan bahwa pengambilan
risiko berkaitan dengan kepercayaan diri sendiri. Artinya, semakin besar
kayakinan seseorang pada kemampuan sendiri, maka semakin besar keyakinan orang
tersebut akan kesanggupan untuk mempengaruhi hasil dan keputusan, dan semakin
besar pula kesediaan seseorang untuk mencoba apa yang menurut orang lain
sebagai risiko (Meredith, 1996: 39). Jadi, pengambil risiko lebih menyukai
tantangan dan peluang. Oleh sebab itu, pengambil risiko ditemukan pada
orang-orang yang inovatif dan kreatif yang merupakan bagian terpenting dari perilaku
kewirausahaan.
4.
Kepemimpinan
Seorang wirausaha yang berhasil selalu
memiliki sifat kepemimpinan, kepeloporan, keteladanan. Ia selalu ingin tampil
berbeda, lebih dulu, lebih menonjol. Dengan menggunakan kemampuan kreativitas
dan inovasi, ia selalu menampilkan barang dan jasa-jasa yang dihasilkannya
dengan lebih cepat, lebih dulu dan segera berada di pasar. Ia selalu
menampilkan produk dan jasa-jasa baru dan berbeda sehingga ia menjadi pelopor
baik dalam proses produksi maupun pemasaran. Ia selalu memanfaatkan perbedaan
sebagai suatu yang menambah nilai. Karena itu, perbedaan bagi seseorang memiliki
jiwa kewirausahaan merupakan sumber pembaharuan untuk menciptakan nilai. la
selalu ingin bergaul untuk mencari peluang, terbuka untuk menerima kritik dan
saran yang kemudian dijadikan peluang. Dalam karya dan karsanya, wirausaha
selalu ingin tampil baru dan berbeda. Karya dan karsa yang berbeda akan
dipandang sebagai sesuatu yang baru dan dijadikan peluang. Banyak hasil karya
wirausaha berbeda dan dipandang baru, seperti komputer, mobil, minuman, dan
produk makanan lainnya. Contoh sederhana adalah Toyota yang hampir setahun
sekali menghasilkan produk mobil baru. Disebut produk mobil kijang baru karena
penampilannya, interiomya, bentuk, dan asesorisnya berbeda dengan yang sudah
ada. Karena berbeda, maka disebut baru. Akibatnya, nilai jual kijang baru lebih
mahal daripada kijang lama. Inilah nilai tambah yang diciptakan oleh wirausaha
yang memiliki kepeloporan.
5.
Berorientasi ke Masa Depart
Orang yang berorientasi ke masa depan
adalah orang yang memiliki perspektif dan pandangan ke masa. depan. Karena
memiliki pandangan yang jauh ke masa depan, maka ia selalu berusaha untuk
berkarsa dan berkarya. Kuncinya pada kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dan berbeda dengan yang sudah ada sekarang. Meskipun dengan risiko yang
mungkin terjadi, ia tetap tabah untuk mencari peluang dan tantangan demi
pembaharuan masa. depan. pandangan yang jauh ke depan, membuat wirausaha tidak
cepat puas dengan karsa dan karya yang sudah ada sekarang. Oleh sebab itu, ia
selalu mempersiapkannya dengan mencari suatu peluang.
6. Keorisinilan:
Kreativitas dan Inovasi
Nilai inovatif, kreatif dan fleksibel
merupakan unsur-unsur keorisinilan seseorang. Wirausaha yang inovatif adalah
orang yang kreatif dan yakin dengan adanya cara-cara baru yang lebih baik
(Yuyun Wirasasmita, 1994: 7). Ciri-cirinya, adalah:
(a)
Tidak
pernah puas dengan cara-cara yang dilakukan saat ini, meskipun cara tersebut
cukup baik.
(b)
Selalu
menuangkan imajinasi dalam pekerjaannya.
(c)
Selalu
ingin tampil berbeda atau selalu memanfaatkan perbedaan.
Hardvard's Theodore Levitt mengemukakan
definisi inovasi dan kreativitas lebih Ki mengarah pada konsep berpikir dan
bertindak yang baru (think new and doing
new). k, Kreativitas adalah ability
to develop new ideas and to discover mew ways of looking at problem and
opportunities". Sedangkan, "Innovation
is ability to apply creative solutions to those problems and opportunities to
enhance or to enrich people's live". Menurut Levitt, kreativitas
adalah berpikir sesuatu yang baru (thinking
new things) dan inovasi adalah melakukan sesuatu b yang baru (doing new things). Oleh karena itu,
menurut Levitt, kewirausahaan adalah "thinking
and doing new things or old thinks in new ways." Kewirausahaan adalah
berpikir dan bertindak sesuatu yang baru atau berpikir sesuatu yang lama dengan
cara-cara baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparman Soemahamidjaja (1997:
10) bahwa "kewirausahaan" adalah "ability to create the new and different".
Zimmerer (1996:51), dalam bukunya "Entrepreneurship and The New Venture Formation,
mengungkapkan bahwa:
"Sometimes
creativity involves generating something from nothing. However, creativity is
more likely to result in collaborating on the present, in putting old things
together in new ways, or in taking something away to create something simpler
or better".
Dari definisi di atas, kreativitas
mengandung pengertian, yaitu:
(1)
Kreativitas
adalah menciptakan sesuatu yang asalnya tidak ada.
(2)
Hasil
kerja sama masa kini untuk memperbaiki masa lalu dengan cara yang baru.
(3)
Menggantikan
sesuatu dengan sesuatu yang lebih sederhana dan lebih baik.
Menurut Zimmerer, "creativity ideas often arise when entrepreneurs look at something
old and think something new or different". Ide-ide kreativitas sering
muncul ketika wirausaha melihat sesuatu yang lama dan berpikir sesuatu yang
baru dan berbeda. Oleh karena itu, kreativitas adalah menciptakan sesuatu dari
yang asalnya tidak ada (generating something
from nothing).
Rahasia kewirausahaan dalam menciptakan
nilai tambah barang dan jasa terletak pada penerapan kreativitas dan inovasi
untuk memecahkan masalah dan meraih peluang yang dihadapi setiap hari (applying creativity and innovation to solve
the problems and to and exploit opportunities that people face everyday).
Berinisiatif ialah mengerjakan sesuatu tanpa menunggu perintah. Kebiasaan
berinisiatif akan melahirkan kreativitas (daya cipta) setelah dibiasakan
berulang-ulang dan melahirkan inovasi. Gerschenkron adalah seorang ahli yang
menonjolkan inovasi sebagai sarana kepribadian menuju kewirausahaan modern. la
mengemukakan "... entrepreneur are
people whose task is to make economic decisions" (Myron Weiner, 1966:
256-272). Wirausaha adalah orang yang bertugas memecahkan keputusan-keputusan ekonomi.
Pokok-pokok pikiran Gerschenkron di atas, pada dasarnya sejalan dengan pokok‑
pokok pikiran Everett E. Hagen (1962: 88) yang mengemukakan tentang ciri-ciri
innovational personality yang kreatif sebagai berikut:
(1)
Openness to experience, yaitu terbuka terhadap pengalaman. la
selalu berminat dan tanggap terhadap gejala di sekitar kehidupannya dan radar
bahwa di dalamnya
terdapat individu yang berperilaku sistematis.
terdapat individu yang berperilaku sistematis.
(2)
Creative imagination, yaitu kreatif dalam berimajinasi.
Wirausaha memiliki kemampuan untuk bekerja dengan penuh imajinasi.
(3)
Confidence and content in one's own
evaluation, yaitu cakap
dan memiliki keyakinan atas penilaian dirinya dan teguh pendirian.
(4)
Satisfaction in facing and
attacking problems and in resolving confusion or inconsistency, yaitu selalu memiliki kepuasan dalam
menghadapi dan memecahkan persoalan.
(5)
Has a duty or responsibility to
achieve, yaitu memiliki
tugas dan rasa tanggung jawab untuk berprdstasi.
(6)
Inteligence and energetic, yaitu dan memiliki kecerdasan dan
energik.
4.3
Berpikir Kreatif dalam Kewirausahaan
Hasil penelitian terhadap otak manusia,
menunjukkan bahwa fungsi otak manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu fungsi
otak sebelah kiri dan otak sebelah kanan. Setiap bagian tidak memiliki fungsi
spesifik dan menangkap informasi yang berbeda. Fungsi bagian acak yang satu
lebih dominan daripada bagian yang lain. Fungsi otak sebelah kiri dikendalikan
secara linear (berpikir vertikal), sedangkan otak sebelah kanan lebih
mengandalkan pada berpikir lateral. Otak sebelah kiri berperan menangkap logika
dan simbol-simbol sedangkan sebelah kanan lebih menangkap hal yang bersifat intuitif
dan emosional. Otak sebelah kanan menggerakan berpikiran lateral dan
meletakkannya pada jiwa proses kreatif. Menurut Zimmerer (1996), untuk mengembangkan
keterampilan berpikir, seseorang menggunakan otak sebelah kiri. sedangkan untuk
belajar mengembangkan keterampilan kreatif digunakan otak sebelah kanan,
ciri-cirinya:
(1)
Selalu
bertanya, "Apa ada cara yang lebih baik?"
(2)
Selalu
menantang kebiasaan, tradisi, dan kebiasaan rutin.
(3)
Berefleksi/merenungkan,
berpikir dalam.
(4)
Berani
bermain mental, mencoba untuk melihat masalah dari perspektif yang berbeda.
Menyadari kemungkinan banyak jawaban daripada satu jawaban yang benar. Melihat
kegagalan dan kesalahan hanya sebagai jalan untuk mencapai sukses.
(5)
Mengkorelasikan
ide-ide yang masih samar terhadap masalah untuk menghasilkan pemecahan
inovatif.
(6)
Memiliki
keterampilan helikopter (helicopters skills), yaitu kemampuan untuk bangkit di
atas kebiasaan rutin dan melihat permasalahan dari perspektif yang lebih luas
kemudian memfokuskannya pada kebutuhan untuk berubah.
Dengan menggunakan otak sebelah kiri,
menurut Zimmerer (1996: 76), ada tujuh langkah proses kreatif:
Tahap
1: Persiapan (Preparation).
Persiapan menyangkut kesiapan kita untuk berpikir kreatif yang dilakukan dalam
bentuk pendidikan formal, pengalaman, magang, dan pengalaman belajar lainnya.
Pelatihan merupakan landasan untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi.
Bagaimana kita dapat memperbaiki pikiran kita agar berpikir kreatif? Zimmerer
mengemukakan tujuh langkah untuk memperbaiki pikiran kita untuk berpikir
kreatif, yaitu:
(1)
Hindari
sikap untuk tidak belajar. Setiap situasi merupakan peluang untuk belajar
(2)
Belajar
banyak. Jangan belajar terbatas pada satu keahlian yang kita miliki saja,
karena banyak inovasi yang diperoleh dari bidang ilmu lain.
(3)
Diskusikan
ide-ide kita dengan orang lain.
(4)
Himpun
artikel-artikel yang penting.
(5)
Temui
profesional atau asosiasi dagang, dan pelajari cara mereka memecahkan
persoalan.
(6)
Gunakan
waktu untuk belajar sesuatu dari orang lain.
(7)
Kembangkan
keterampilan menyimak gagasan orang lain
Tahap
2: penyelidikan (Investigation).
Dalam penyelidikan diperlukan individu yang dapat mengembangkan pemahaman yang
mendalam tentang masalah atau keputusan. seseorang dapat mengembangkan
pemahaman tentang masalah atau keputusan melalui penyelidikan. Untuk menciptakan
konsep dan ide-ide baru tentang suatu bidang tertentu,seseorang pertama-tama
harus mempelajari masalah dan memahami komponen-komponen dasarnya. Misalnya,
seseorang pedagang tidak bisa menghasilkan ide-ide baru kalau ia tidak
mengetahui konsep-konsep atau komponen-komponen dasar tentang perdagangan.
Tahap
3: Transformasi (Transformation), yaitu menyangkut persamaan dan perbedaan
pandangan di antara informasi yang terkumpul (involves viewing the similarities and the differences among the
information collected). Transformasi, ialah mengidentifikasi persamaanpersamaan
dan perbedaan-perbedaan yang ada tentang informasi yang terkumpul. Dalam tahap
ini diperlukan dua tipe berpikir, yaitu berpikir konvergen dan divergen.
Berpikir konvergen (convergent thinking)
adalah kemampuan untuk melihat persamaan dan hubungan di antara data dan
kejadian yang bermacam-macam. Sedangkan berpikir divergen (divergent thinking), adalah kemampuan untuk melihat
perbedaan-perbedaan antara data dan kejadian-kejadian yang beranekaragam.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan
kemampuan mentransformasi informasi ke dalam ide-ide, yaitu yang dapat
dilakukan sebagai berikut:
(1)
Evaluasi
bagian-bagian situasi beberapa saat, cobalah ambil gambaran luasnya.
(2)
Susun
kembali unsur-unsur situasi itu. Di samping melihat komponen-komponen
masalah/isu dalam susunan dan perspektif yang berbeda-beda, kita harus mampu
melihat perbedaan dan persamaan secara cermat.
(3)
Sebelum
melihat satu pendekatan khusus terhadap situasi tertentu, ingat bahwa dengan
beberapa pendekatan mungkin keberhasilan akan dicapai.
(4)
Lawan
godaan yang membuat penilaian kita-tergesa-gesa dalam memecahkan persoalan atau
mencari peluang.
Tahap
4: Penetasan (Incubation), yaitu menyiapkan pikiian bawah sadar
untuk merenungkan informasi yang terkumpul (allows
the subconcious mind to reflect on the information collected). Pikiran
bawah sadar memerlukan waktu untuk merefleksikan informasi.
Untuk mempertinggi tahap inkubasi dalam
proses berpikir kreatif dapat dilakukan dengan cara:
(1)
Menjauhkan
diri dari situasi. Melakukan sesuatu yang tidak terkait dengan masalah atau
peluang secara keseluruhan sehingga kita dapat berpikir di bawah sadar.
(2)
Sediakan
waktu untuk mengkhayal. Meskipun mengkhayal seolah-olah melakukan sesuatu yang
tidak berguna, akan tetapi khayalan merupakan bagian terpenting dari proses
kreatif.
(3)
Santai
dan bermain secara teratur. Anda dapat berpikir kreatif dengan ide-ide besar
pada waktu bermain atau santai. Ide-ide besar Bering muncul pada waktu bermain
golf, mendengarkan musik, di kebun/taman, atau di tempat tidur.
(4)
Berkhayal
tentang masalah atau peluang. Berpikir berbagai masalah sebelum tidur merupakan
cara efektif untuk mendorong pikiran Anda bekerja waktu tidur.
(5)
Kejarlah
masalah atau peluang meskipun dalam lingkungan yang berbeda di mana saja.
Tahap
5: Penerangan (Illumination). Penerangan akan muncul pada tahap
inkubasi, vaitu ketika ada pemecahan spontan yang menyebabkan adanya titik
terang (occurs at - -ww point during the
incubation stage when a spontaneous breakthrough causes "the light bulb to
_fir on "). Pada tahap ini, semua tahap sebelumnya muncul bersama-sama
menghasilkan ide-ide kreatif dan inovatif.
Tahap
6: Pengujian (Verification). Menyangkut validasi keakuratan dan
manfaat ide-ide yang muncul (involves
validating the idea as accurate and useful) yang dapat dilakukan pada masa
percobaan, proses simulasi, tes pemasaran, membangun pilot project, membangun
prototipe, dan aktivitas lain yang dirancang untuk membuktikan ide-ide baru
yang akan diimplementasikan.
Tahap
7: Implementasi
(Implementation). Mentransformasikan
ide-ide ke dalam praktik bisnis (involves
transforming the idea into a business reality).
Roger Von Oech dalam bukunya "Whack on the side of the Head",
mengidentifikasi sepuluh kunci mental dari kreativitas ("mental lock" of creativity) atau hambatan-hambatan
kreativitas, yang meliputi:
(1)
Searching for the one
"right" answer,
yaitu berusaha untuk menemukan hanya satu jawaban yang benar atau satu solusi
yang benar dalam memecahkan suatu masalah. la tidak terbiasa dengan beberapa
jawaban atau pandangan yang berbeda.
(2)
Focusing on "being
logical",
yaitu terfokus pada berpikir secara logika, tidak bebas berpikir secara
non-logika dengan imajinasi dan berpikir kreatif. Padahal dalam berkreasi (intuisi
dari Von Oech) kita dapat berpikir bebas tentang segala sesuatu yang berbeda
dan bebas pula berpikir secara non-logika khususnya dalam fase berpikir kreatif
(to thing something different and to freely use nonlogical thinking, especially
in the imaginative phase of the creative process).
(3)
Blindy following the rules, yaitu berlindung pada aturan yang
berlaku (kaku). Kreativitas sangat tergantung pada kemampuan yang tidak kaku
pada aturan, sehingga dapat melihat cara-cara baru untuk mengerjakan sesuatu (new
ways of doing things).
(4)
Constantly being practical, yaitu terikat pada kehidupan praktis
semata yang membatasi ide-ide kreatif.
(5)
Viewing playas frivolous. Memandang bermain sebagai sesuatu yang
tidak menentu. Padahal, anak-anak dapat belajar dari bermain, yaitu dengan cara
menciptakan cara-cara baru dalam memandang sesuatu yang lama dan belajar
tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan (create new
ways of looking at old things and learn what works-and what doesn't). Wirausaha
bisa belajar dengan mencoba pendekatan dan penemuan baru. Kreativitas dapat
diciptakan apabila wirausaha mau belajar dari bermain. Seseorang yang memandang
permainan sebagai hal yang sia-sia cenderung membatasi berpikir kreatif.
(6)
Becoming everly specialized, yaitu terlalu spesialisasi.
Spesialisasi membatasi kemampuan untuk melihat masalah lain. Sedangkan orang
yang berpikir kreatif cenderung bersifat eksploratif dan selalu mencari ide-ide
di luar bidang spesialisasi.
(7)
Avoiding ambiguity. Menghindari ambiguitas merupakan
hambatan untuk berpikir kreatif. Padahal kemenduaan/ambiguitas (ambiguity) bisa
menjadi kekuatan yang mendorong kreativitas, dan mendorong untuk berpikir
sesuatu yang berbeda (tc think something different). Karena itu, menghindari
ambiguitas merupakan hambatan berpikir kreatif.
(8)
Fearing looking foolish. Orang kadang-kadang tidak mau
melakukan hal baru atau berpikir berbeda dari orang lain karena khawatir
dianggap bodoh. Takut terlihat), dianggap bodoh merupakan salah satu penghalang
kreativitas.
(9)
Fearing mistakes
and failure (takut salah dan gagal). Orang kreatif menyadari bahwa mencoba
sesuatu yang baru pasti membawa kegagalan. Namun demikian, mereka melihat
kegagalan bukanlah suatu akhir dari segala sesuatu, tetapi merupakan pengalaman
belajar untuk meraih sukses. Thomas Edison misalnya, sebelum meraih sukses
untuk membuat bola lampu menyala, telah melakukan eksperimen sebanyak 1.800
cara. Seperti halnya Thomas Edison, wirausaha dapat belajar dari kegagalan.
Belajar dari kegagalan merupakan bagian terpenting dari proses berpikir
kreatif. Kuncinya, adalah kegagalan untuk meraih sukses. Oleh karena itu, takut
terhadap kegagalan merupakan hambatan untuk berpikir kreatif.
(10)
Believing that "I'm not
creative".
Setiap orang berpotensi untuk kreatif. Takut pada ketidakmampuan untuk berbuat
kreatif merupakan hambatan berpikir kreatif.
Untuk memotivasi para karyawan agar
memiliki kreativitas, Zimmerer (1996: 76) mengemukakan beberapa cara:
(1)
Expecting creativity. Wirausaha mengharapkan kreativitas.
Salah satu cara yang terbaik untuk mendorong kreativitas adalah memberi
kewenangan kepada karyawan untuk berkreasi.
(2)
Expecting and tolerating failure, yaitu memperkirakan dan menoleransi
kegagalan. Ide-ide kreatif akan menghasilkan keberhasilan atau kegagalan. Orang
yang tidak pernah menemui kegagalan bukan orang kreatif.
(3)
Encouraging curiosity. Berbesar hati jika menemukan kegagalan,
artinya kegagalan jangan dipandang sebagai sesuatu yang aneh.
(4)
Viewing problems as challenges, yaitu memandang kegagalan sebagai
tantangan. Setiap kegagalan memberikan peluang untuk berinovasi.
(5)
Providing creativity training, yaitu menyediakan pelatihan
berkreativitas. Setiap seorang memiliki kapasitas kreatif. Untuk
mengembangkannya diperlukan pelatihan. Pelatihan melalui buku, seminar,
workshop, dan pertemuan profesional dapat mendorong karyawan untuk untuk
meningkatkan kapasitas kreativitasnya.
(6)
Providing support, yaitu memberikan dorongan dan bantuan,
berupa alat dan sumber daya yang diperlukan untuk berkreasi, terutama waktu
yang cukup untuk berkreasi.
(7)
Rewarding creativity, yaitu menghargai orang yang
kreatif. Penghargaan bisa dalam bentuk uang, promosi, dan hadiah lainnya.
(8)
Modeling creativity, yaitu memberi contoh kreatif. Untuk
mendorong karyawan lebih kreatif, harus diciptakan lingkungan yang mendorong
kreativitas.
Dalam menghadapi persaingan yang semakin
kompleks dan ekonomi global, menurut Zimmerer (1996: 53), kreativitas tidak
hanya penting untuk menciptakan keunggulan kompetitif, akan tetapi juga sangat
penting bagi kelangsungan perusahaan .zurvive). Artinya, dalam menghadapi
tantangan global, diperlukan sumber daya manusia kreatif dan inovatif atau
berjiwa kewirausahaan. Wirausahalah yang bisa menciptakan nilai tambah dan
keunggulan. Nilai tambah tersebut diciptakan melalui kreativitas dan inovasi,
atau "thinking new thing and doing
new thing or create the new and different."
Zimmerer mengemukakan beberapa kaidah
atau kebiasaan kewirausahaan "entrepreneur
"rules to live by" yaitu:
(1)
Create, innovate, and activate, yaitu ciptakan, temukan, dan aktifkan.
Wirausaha selalu memimpikan ide-ide baru, dan selalu bertanya "apa
mungkin" atau "mengapa tidak" dan menggunakan inovasinya dalam
kegiatan praktis.
(2)
Always be on the look out for new
opportunities,
yaitu selalu mencari peluang baru. Wirausaha harus selalu mencari peluang baru
atau menemukan cara baru untuk menciptakan peluang.
(3)
Keep it simple, yaitu berpikir sederhana. Wirausaha
selalu mengharapkan umpan balik sesegera mungkin, dan berusaha dengan cara yang
tidak rumit.
(4)
Try it, fix it, do it, yaitu selalu mencoba, memperbaiki, dan
melakukannya. Wirausaha berorientasi pada tindakan. Bila ada ide, wirausaha
akan segera mengerjakannya.
(5)
Shoot for the top, yaitu selalu mengejar yang terbaik,
terunggul dan ingin cepat mencapai sasaran. Wirausaha tidak pernah segan,
mereka selalu bermimpi besar. Meskipun tidak selalu benar, mimpi besar adalah
sumber penting untuk inovasi dan visi.
(6)
Don't be ashamed to start small, yaitu jangan malu untuk memulai dari
hal-hal yang kecil. Banyak perusahaan besar yang berhasil karena dimulai dari
usaha kecil.
(7)
Don't fear failure: learn form it, yaitu jangan takut gagal, belajarlah
dari kegagalan. Wirausaha harus tahu bahwa inovasi yang terbesar berasal dari
kegagalan.
(8)
Never give up, yaitu tidak pernah menyerah atau
berhenti karena wirausaha bukan orang yang mudah menyerah.
(9)
Go for it, yaitu untuk terns mengejar apa yang
diinginkan. Orang yang pantang menyerah selalu mengejar apa yang belum
dicapainya. Sebelum tujuannya tercapai, maka ia akan mengejarnya.
5
Sikap Dan Kepribadian Wirausaha
Alex Inkeles dan David H. Smith (1974:
19-24) adalah salah satu di antara ahli yang mengemukakan tentang kualitas dan
sikap orang modern. Menurut Inkeles (1974: 24) kualitas manusia modern
tercermin pada orang yang berpartisipasi dalam produksi modern yang
dimanifestasikan dalam bentuk sikap, nilai, dan tingkah laku dalam kehidupan
sosial. Ciri-cirinya meliputi keterbukaan terhadap pengalaman baru, selalu
membaca perubahan sosial, lebih realistic terhadap fakta dan pendapat,
berorientasi pada masa kini dan masa yang akan datang bukan pada masa lalu,
berencana, percaya diri, memiliki aspirasi, berpendidikan dan mempunyai
keahlian, respek, hati-hati, dan memahami produksi.
Ciri-ciri orang modern tersebut hampir
sama dengan yang dikemukakan oleh Gunar Myrdal, yaitu:
(1)
Kesiapan
diri dan keterbukaan terhadap inovasi.
(2)
Kebebasan
yang besar dari tokoh-tokoh tradisional.
(3)
Mempunyai
jangkauan dan pandangan yang luas terhadap berbagai masalah.
(4)
Berorientasi
pada masa sekarang dan yang akan datang.
(5)
Selalu
berencana dalam segala kegiatan.
(6)
Mempunyai
keyakinan pada kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(7)
Percaya
bahwa kehidupan tidak dikuasai oleh nasib dan orang tertentu.
(8)
Memiliki
keyakinan dan menggunakan keadilan sesuai dengan prinsip masing-masing.
(9)
Sadar
dan menghormati orang lain (Siagian, 1972).
Menurut Harsojo (1978:5), modernisasi
sebagai sikap yang menggambarkan:
(1)
Sikap
terbuka bagi pembaharuan dan perubahan.
(2)
Kesanggupan
membentuk pendapat secara demokratis.
(3)
Berorientasi
pada masa kini dan masa depan.
(4)
Meyakini
kemampuan sendiri.
(5)
Meyakini
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(6)
Menganggap
bahwa ganjaran itu hasil dari prestasi.
Orang yang terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru akan lebih siap untuk menanggapi segala peluang,
tantangan dan perubahan sosial, misalnya dalam mengubah standar hidupnya.
Orang-orang yang terbuka terhadap ide-ide baru ini merupakan wirausaha yang
inovatif dan kreatif yang ditemukan dalam jiwa kewirausahaan. Menurut Yurgen
Kocka (1975), "Pandangan yang luas dan dinamis serta kesediaan untuk
pembaharuan, bisa lebih cepat berkembang dalam lapangan industri, tidak lepas
dari suatu latar belakang pendidikan, pengalaman perjalanan yang banyak"
(Yuyun Wirasasmita, 1982:44). Dalam konteks ini, juga dijumpai perpaduan yang
nyata antara usaha perdagangan yang sistematis dan rasional dengan kemampuan
bereaksi terhadap kesempatan-kesempatan yang didasari keberanian berusaha.
Wirausaha adalah kepribadian unggul yang mencerminkan budi yang luhur dan suatu
sifat yang pantas diteladani, karena atas dasar kemampuannya sendiri dapat
melahirkan suatu sumbangsih dan karya untuk kemajuan kemanusiaan yang
berlandaskan kebenaran dan kebaikan.
Seperti telah diungkapkan bahwa
wirausaha sebenarnya adalah seorang inovator atau individu yang mempunyai
kemampuan naluriah untuk melihat benda-benda materi sedemikian rupa yang
kemudian terbukti benar, mempunyai semangat dan kemampuan serta pikiran untuk
menaklukkan cara berpikir yang tidak berubah, dan mempunyai kemampuan untuk
bertahan terhadap oposisi sosial (Heijrachman Ranupandoyo,1982: 1). Wirausaha
berperan dalam mencari kombinasi-kombinasi baru yang merupakan gabungan dari
lima proses inovasi yaitu menemukan pasar-pasar baru, pengenalan barang-barang
baru, metode produksi baru, sumber-sumber penyediaan bahan-bahan mentah baru,
serta organisasi industri baru. Wirausaha merupakan inovator yang dapat menggunakan
kemampuan untuk mencari kreasi-kreasi baru.
Dalam perusahaan, wirausaha adalah
seorang inisiator atau organisator penting suatu perusahaan. Menurut Dusselman
(1989: 16), seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan ditandai oleh pola-pola
tingkah laku sebagai berikut:
(1)
Inovasi,
yaitu usaha untuk menciptakan, menemukan dan menerima ide-ide baru.
(2)
Keberanian
untuk menghadapi risiko, yaitu usaha untuk menimbang dan menerima risiko dalam
pengambilan keputusan dan dalam menghadapi ketidakpastian.
(3)
Kemampuan
manajerial, yaitu usaha-usaha yang dilakukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
manajemen, meliputi:
(a)
Usaha
perencanaan.
(b)
Usaha
untuk mengkoordinir.
(c)
Usaha
untuk menjaga kelancaran usaha.
(d)
Usaha
untuk mengawasi dan mengevaluasi usaha.
(4)
Kepemimpinan,
yaitu usaha memotivasi, melaksanakan, dan mengarahkan tujuan usaha.
Menurut Kathleen L. Hawkins & Peter
A.Turla (1986) pola tingkah laku kewirausahaan di atas tergambar pula dalam
perilaku dan kemampuan sebagai berikut:
(1)
Kepribadian,
aspek ini bisa diamati dari segi kreativitas, disiplin diri, kepercayaan diri,
keberanian menghadapi risiko, memiliki dorongan, dan kemauan kuat.
(2)
Hubungan,
dapat dilihat dari indikator komunikasi dan hubungan antar-personal, ke
kepemimpinan, dan manajemen.
(3)
Pemasaran,
meliputi kemampuan dalam menemukan produk dan harga, periklanan dan promosi.
(4)
Keahlian
dalam mengatur, diwujudkan dalam bentuk penentuan tujuan, perencanaan, dan
penjadwalan, serta pengaturan pribadi.
(5)
Keuangan,
indikatornya adalah sikap terhadap uang dan cara mengatur uang.
David McDelland (1961: 205) mengemukakan
enam ciri perilaku kewirausahaan, yaitu :
(1)
Keterampilan
mengambil keputusan dan mengambil risiko yang modest, dan bukan atas dasar
kebetulan belaka.
(2)
Energik,
khususnya dalam bentuk berbagai kegiatan inovatif.
(3)
Tanggung
jawab individual.
(4)
Mengetahui
hasil-hasil dari berbagai keputusan yang diambilnya, dengan tolok ukur satuan
uang sebagai indikator keberhasilan.
(5)
Mampu
mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa datang.
(6)
Memiliki
kemampuan berorganisasi, meliputi kemampuan, kepemimpinan, dan manajerial.
Telah dikemukakan di atas bahwa
wirausaha adalah inovator dalam mengombinasikan sumber-sumber bahan baru,
teknologi baru, metode produksi baru, akses pasar baru, dan pangsa pasar baru
(Schumpeter, 1934). Oleh Ibnu Soedjono (1993) perilaku kreatif dan inovatif
tersebut dinamakan "entrepreneurial
action", yang ciri-cirinya: (1) Selalu mengamankan investasi terhadap
risiko, (2) Mandiri, (3) Berkreasi menciptakan nilai tambah, (4) Selalu mencari
peluang, (5) Berorientasi ke masa depan.
Perilaku tersebut dipengaruhi oleh
nilai-nilai kepribadian wirausaha, yaitu nilai-nilai keberanian menghadapi
risiko, sikap positif, dan optimis, keberanian mandiri, dan memimpin, dan
kemauan belajar dari pengalaman.
Keberhasilan atau kegagalan wirausaha
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Menurut
Sujuti Jahja (1977), faktor internal yang berpengaruh adalah kemauan, kemampuan,
dan kelemahan. Sedangkan faktor yang berasal dari ekstenal diri perlaku adalah
kesempatan atau peluang.
6
Motif Berprestasi Kewirausahaan
Para ahli mengemukakan bahwa seseorang
memiliki minat berwirausaha karena adanya suatu motif tertentu, yaitu motif
berprestasi (achievement motive). Motif berprestasi ialah suatu nilai sosial
yang menekankan pada hasrat untuk mencapai yang terbaik guna kepuasan secara
pribadi (Gede Anggan Suhandana, 1980: 55). Faktor dasarnya adalah adanya
kebutuhan yang harus dipenuhi.
Teori motivasi pertama kali dikemukakan
oleh Maslow (1934). la mengemukakan hierarki kebutuhan yang mendasari motivasi.
Menurutnya, kebutuhan itu bertingkat sesuai dengan tingkatan pemuasannya, yaitu
kebutuhan fisik (physiological needs), kebutuhan dan keamanan (security needs),
kebutuhan social (social needs), kebutuhan harga diri (esneeds), dan kebutuhan
akan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Teori Maslow, kemudian oleh Dayton
Alderfer dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yang dikenal dengan teori
existence, relatedness, and growth (ERG).
Pertama, kebutuhan akan eksistensi
(existence) yaitu menyangkut keperluan material yang harus ada (termasuk
physiological need and security need dari Maslow).
Kedua, ketergantungan (relatedness),
yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hubungan interpersonal (termasuk social
and esteem need dari Maslow).
Ketiga, kebutuhan perkembangan (growth),
yaitu kebutuhan intrinsik untuk perkembangan personal (termasuk
self-actualization dan esteem need dari Maslow).
David C. McDelland (1971) mengelompokkan
kebutuhan (needs), menjadi tiga, yakni:
(1)
Need for achievement (n'Ach): The
drive to excel, to achieve in relation to a set of standard, to strive to
succeed.
(2)
Need for power (n'Pow): The need to
make other behave in a way that they would not have behaved otherwise.
(3)
Need for affiliation (n'Aff): The
desire for friendly and dose interpersonal relationships.
Kebutuhan berprestasi wirausaha (n'Ach)
terlihat dalam bentuk tindakan untuk n melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih
efisien dibanding sebelumnya. Wirausaha ke yang memiliki motif berprestasi
tinggi pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1)
Ingin
mengatasi sendiri kesulitan dan persoalan-persoalan yang timbul pada dirinya.
(2)
Selalu
memerlukan umpan balik yang segera untuk melihat keberhasilan dan kegagalan.
(3)
Memiliki
tanggung jawab personal yang tinggi.
(4)
Berani
menghadapi risiko dengan penuh perhitungan.
(5)
Menyukai
tantangan dan melihat tantangan secara seimbang (fifty-fifty). Jika tugas yang
diembannya sangat ringan, maka wirausaha merasa kurang tantangan, tetapi ia
selalu menghindari tantangan yang paling sulit yang memungkinkan pencapaian
keberhasilan sangat rendah.
Kebutuhan akan kekuasaan (n'Pow), yaitu
hasrat untuk mempengaruhi, mengendalikan, dan menguasai orang lain. Ciri
umumnya adalah senang bersaing, berorientasi pada status, dan cenderung lebih
berorientasi pada status dan ingin mempengaruhi orang lain.
Kebutuhan untuk berafiliasi (Waff),
yaitu hasrat untuk diterima dan disukai oleh orang lain. Wirausaha yang
memiliki motivasi berafiliasi tinggi lebih menyukai persahabatan, bekerja sama
dari pada persaingan, dan saling pengertian. Menurut Stephen P. Robbins (1993:
214), kebutuhan yang kedua dan ketigalah yang erat kaitannya dengan
keberhasilan manajer saat ini.
Ahli psikologi lain, Frederick Herzberg
(1987) dalam teori motivation-hygiene mengemukakan bahwa hubungan dan sikap
individu terhadap pekerjaannya merupakan salah satu dasar yang sangat
menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang. Ada dua faktor dasar motivasi
yang menentukan keberhasilan kerja, yaitu faktor yang membuat orang merasa puas
(satisfaction) dan faktor yang membuat orang tidak merasa puas (dissatisfaction).
Faktor internal yang membuat orang memperoleh kepuasan kerja (job-satisfaction)
meliputi prestasi (achievement), pengakuan ( recognition), pekerjaan (the work
itself), tanggung jawab (responsibility), kemajuan (advancement), dan
kemungkinan berkembang (possibility of growth). Sedangkan faktor yang
menentukan ketidakpuasan (dissatisfaction) adalah upah, keamanan kerja, kondisi
kerja, status, prosedur perusahaan, mutu pengendalian teknis, mutu hubungan
interpersonal (Gibson, 1990: 95).
Ahli lain yang membahas motivasi adalah
Victor Vroom (1964) dalam teorinya yang disebut teori harapan (expectancy
theory). Ia mengernukakan bahwa "The
strength of a tendency to act in a certain way depend on the strength of an
expectation that an act will be followed by a given outcome and other
attractiveness of that outcome to the individual". Kecenderungan yang
kuat untuk bertindak dalam suatu arch tertentu tergantung pada kekuatan harapan
yang akan dihasilkan dari tindakannya dan ketertarikan lain yang dihasilkan
bagi seseorang. Menurut Victor Vroom, ada tiga variabel yang saling
berhubungan, yaitu: (1) Attractiveness, merupakan imbalan yang diperoleh dari
pekerjaan, (2) Performance-reward linkage, yaitu hubungan antara imbalan yang
diperoleh dan kinerja, dan (3) Effort performance linkage, yaitu hubungan
antara usaha dan kinerja yang dihasilkan. Ada tiga prinsip dari teori harapan
(expectancy theory), yaitu:
(1)
Prestasi
atau performance (P) adalah fungsi perkalian antara motivasi (M) dan ability
(A).
(2)
Motivasi
merupakan fungsi perkalian dari valensi tingkat pertama (V1) dengan expectancy
(E).
(3)
Valensi
tingkat pertama merupakan fungsi perkalian antara jumlah valensi yang melekat
pada perolehan tingkat kedua dengan instrumental (I).
Menurut Nasution (1982: 26), Louis Allen
(1986: 70), ada tiga fungsi motif, yaitu:
(1)
Mendorong
manusia untuk menjadi penggerak atau sebagai motor yang melepaskan energi.
(2)
Menentukan
arah perbuatan ke tujuan tertentu.
(3)
Menyeleksi
perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan untuk
mencapai suatu tujuan dengan menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat bagi pencapaian
tujuan itu.
Berdasarkan teori motivasi di atas,
timbul pertanyaan, mengapa orang berhasrat menjadi wirausaha? Menurut Dan
Steinhoff & John F. Burgess (1993: 6) ada tujuh motif:
(1)
The desire for higher income.
(2)
The desire for a more satisfying
career.
(3)
The desire to be self-directed.
(4)
The desire for the prestige that
comes to being a business owner.
(5)
The desire to run with a new idea
or concept.
(6)
The desire to build long-term
wealth.
(7)
The desire to make a contribution
to humanity or to a specific cause.
Dalam "Entrepreneur's Handbook", yang dikutip oleh Yuyun
Wirasasmita (1994:8), dikemukakan beberapa alasan mengapa seseorang
berwirausaha, yakni:
(1)
Alasan
keuangan, yaitu untuk mencari nafkah, untuk menjadi kaya, untuk mencari
pendapatan tambahan, sebagai jaminan stabilitas keuangan.
(2)
Alasan
sosial, yaitu untuk memperoleh gengsi/status, untuk dapat dikenal dan
dihormati, untuk menjadi contoh bagi orang tua di desa, agar dapat bertemu
dengan orang banyak.
(3)
Alasan
pelayanan, yaitu untuk memberi pekerjaan pada masyarakat, untuk menata
masyarakat, untuk membantu ekonomi masyarakat, demi masa depan anak-anak dan
keluarga, untuk mendapatkan kesetiaan suami/istri, untuk membahagiakan ayah dan
ibu.
(4)
Alasan
pemenuhan diri, yaitu untuk menjadi atasan/mandiri, untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan, untuk menghindari ketergantungan pada orang lain, untuk menjadi
lebih produktif, dan untuk menggunakan kemampuan pribadi.
Menurut Zimmerer (1996: 3) ada beberapa
peluang yang dapat diambil dari kewirausahaan, yaitu:
(1)
Peluang
untuk memperoleh kontrol atas kemampuan diri.
(2)
Peluang
untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki secara penuh.
(3)
Peluang
untuk memperoleh manfaat secara finansial.
(4)
Peluang
untuk berkontribusi kepada masyarakat dan menghargai usaha-usaha seseorang.
makasih kak
BalasHapusKeren banget
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMuantulllll
BalasHapus